Friday, July 10, 2009

The Real Superwoman

Postingan ke-3 di http://www.ngerumpi.com

Suara di seberang sana terdengar lebih tegar dari biasanya, ketika kami berdua- saya dan “soulmate” saya itu- berada dalam percakapan telepon malam itu. Soulmate disini ada dalam tanda kutip karena ia bukan suami saya, bukan juga selingkuhan saya (emang gak punya sich!**nge-dehem..ehm,ehm**) tapi dia sudah lebih dari sekedar sahabat buat saya, walau umurnya lebih tua sekitar 15-20 tahun. Segalanya selalu kami bagi berdua, begitupun tentang masalah rumah tangganya yang berada diujung tanduk, saya selalu bersedia menjadi ‘tempat sampah’ untuknya, walau tak pernah saya berani untuk menasihatinya, bahkan untuk berkata ‘sabar yaa’ karena jika saya berada di posisinya, mungkin sudah lama saya mendiami rumah ukuran 2x1 di tanah kusir (brrr..!**merinding**).


“Jadi,gitu aja ya De…lo yang temenin gue ke rumah keluarganya Arman (suaminya-red),kita bertiga sama abang gue, tapi gue minta lo yang temenin…” teman saya Nuning.

“mm,gak masalah…nemenin aja khan?” saya bertanya.

“Iya, sich…tapi, tolong dong bantuin mikir juga,gimana cara ngomongnya ke keluarganya ya, biar mereka gak banyak pertanyaan karena gue udah gak mau mikir-mikir lagi, udah mantep sekarang untuk ambil keputusan.”

“Satu lagi, tolong hubungin temen lo yang Lawyer divorce itu, gimana prosedurnya nanti supaya gak berbelit dan tentang gono-gini, hak asuh, biar gak ‘berantem’ disononya…,gue gak kuat mikirnya, besides I’m going to Shanghai only for 4 days, ngurusin pameran, pusing deh gue kalo mesti ngurusin begituan..”

**glekk! Saya minum aer es dulu, biar adem…**


Adodoooh…kalau anda jadi saya, pusing gak ? Tapi saya gak mau membahas soal “soulmate” saya ini yang minta tolongnya gak ketulungan..hehe..apapun akan saya lakukan buat dia, karena memang saya gak bisa menolaknya, secara dia juga gak pernah sekalipun nolak membantu saya ketika saya memerlukan pertolongannya.


Yang saya mau bahas disini adalah cerita tentang sosoknya ini. Katakan saja, Nuning namanya. Sudah lebih dari 25 tahun menikah, mungkin tahun ini menginjak usia pernikahan yang ke 27. Tapi sudah 2 tahun belakangan ‘pisah ranjang’ barangkali, karena kadang masih serumah, tapi komunikasi terputus total. Suami kadang pergi begitu saja, tanpa memberitahu dulu hendak kemana, sedang Nuning adalah wanita karir yang cukup berhasil – saya kurang paham tentang golongan di struktur pemerintahan, yang jelas mungkin 4D or something sudah berhasil diraihnya – sehingga mengharuskan dia sering bepergian ke luar kota dan luar negri, hampir puluhan kali traveling dalam setahun. Seingat saya, semua sudah pernah disinggahinya, sampai ke Meksiko sekalipun, sehubungan dengan pekerjaannya. Dari pernikahan mereka lahir 2 anak, yang menurut saya, anugrah luar biasa dari Tuhan, karena mereka pintar , cantik&ganteng (laki2 dan perempuan). Tapi kehidupan memang bukan surga, pasti ada sesuatu yang membuat kita selalu merasa ‘di neraka dunia’.


Selama 27 tahun terikat pernikahan dengan suami yang menurut saya *ndableg* gak pernah saya lihat dia berniat untuk ‘main hati’ dengan pria lain, lebih baik dia curhat ke saya atau ke ibunya (jika memang memungkinkan, karena terkadang dia tidak mau membebani pikiran orangtuanya) apalagi sampai mau divorce segala, buat dia lebih baik dia nangis bombay, tapi setelah itu bisa tegar lagi, ketimbang menyerah. Nah, gimana gak ndablek tuh suami, punya istri sesabar ini, gak dijaga ! kalo kata lagunya Andra&The Backbone **Kau begitu…sempurna..!**


Tapi itulah, setegar apapun wanita, dia bukan ironwoman atau bukan wanita berhati besi. Buat saya Nuning adalah the real Superwoman, wanita tegar yang berhati lembut dan tentu saja bisa rapuh ketika digerus kekecewaan demi kekecewaan yang selalu melukai hatinya **cihh, jadi melo,gini seeh!** Setahu saya, hanya 2-5 tahun dia menikmati kehidupan rumah tangga yang lumayan normal. Itupun karena mereka masih tinggal di rumah orangtua Nuning, karena sang suami memang tidak pernah bisa memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi keluarga, termasuk menyediakan rumah yang sederhana sekalipun, saat itu. Ketika 5 tahun berdiam di pondok mertua indah, orangtua Nuning membantu membelikan sebuah rumah BTN sederhana.


Mereka menikah bukan karena dijodohkan, tetapi memang saling cinta. Suami seorang pegawai negri yang gajinya pas-pasan, tapi Nuning tidak pernah protes, karena sejak awal pernikahan dia memang jelas mengetahuinya. Saat itu harapan masih setinggi gunung,- semoga nanti perlahan kehidupan perekonomian mereka membaik- dan memang terjadi, tapi bukan hasil kerja keras suami, yang semestinya mengambil beban tanggungjawab itu. Tapi oke lah, toh, aliran rezeki kadang memang bisa datang dari mana saja, mungkin dalam rumahtangga ini,sang istri lebih berperan. Tapi di sisi lain, si suami tidak mau beralih fungsi dengan mengambil sebagian tanggung jawab istrinya, sebagai ibu dari anak2 mereka. Dari mulai urusan sekolah anak, sampai urusan remeh temeh macem betulin genteng bocor, sering kali jadi bagian pekerjaan yang harus diselesaikan sahabat saya itu. Lha, terus suami kerjaannya ngapain dong ? Sepanjang yang saya tahu dari cerita Nuning, kalau di rumah suaminya lebih banyak santai2 sembari baca Koran, atau ketika mereka punya komputer, ya main game, atau nonton tipi, apalagi kalo ada pertandingan olahraga, wuahh…anak mereka nangis karena jatuh terpeleset pun, gak dia hiraukan saking asiknya.


Sebegitu, sahabat saya itu masih harus ‘dituntut’ untuk bisa masak makanan kesukaan suaminya, dan tetap melayaninya dengan baik di ranjang, tentunya ! **kalau saya.., cihh, dah kagak bisa horny kali..** Tapi itulah Nuning, wanita tegar yang memilih menanggung ‘resiko’ dari pilihannya sendiri, suami yang (mungkin) pernah memberikan kebahagiaan lahir bathin kepadanya, tapi lebih banyak menyengsarakan hidupnya -saya kira. Suami yang penghasilannya pas2an karena tidak mau bekerja lebih giat, pun sampai akhirnya pensiun, penghasilannya tidak pernah melebihi sang istri (namun tak pernah Nuning mengeluhkan soal ini, mungkin karena keikhlasannya itu, rezeki tak hentinya mengalir kepadanya untuk anak2nya). Belum lagi sifat suaminya yang selalu minta dilayani, tidak mau berbagi peran dalam rumah tangga. Dan 2 tahun belakangan, suaminya suka protes, karena sang istri dinilai kurang memperhatikan dirinya yang sudah pensiun & tidak mempunyai pekerjaan sambilan, dia sering merasa kesepian ditinggal istrinya dinas, ke luar kota maupun ke luar negeri **cihh, emang mo ngikut??lha, ntar uang saku abis aja buat bayarin dia !**Tapi kalau diminta tolong buat antar2 Nuning ke kantor atau kemana, gak mau, alasannya, pusing nyetir di jalan yang semrawut sekarang ini. Jadilah Nuning mempekerjakan supir **padahal,kalau suami mau berkorban sedikit, bisa mendekatkan hubungan karena sering bersama2, dan gak perlu bayar supir khan ?**


Dan kini, sahabat saya itu sudah lelah, betul2 sudah berada di ‘tepi jurang’ kesabarannya. 25 tahun bukan waktu yang singkat untuk bersabar, meski samasekali dia gak menyesal telah menyerahkan hidupnya untuk bersabar dengan semua perlakuan suaminya. Begitupun anak2 mereka, sebetulnya sudah lama kehilangan figur seorang ayah, semua peran sudah diambil sang ibu, meski ayah mereka serumah dan mereka hingga kini masih tetap menjadi anak yang penurut. Tapi mereka kini bukan anak kecil lagi, mereka sudah bisa ‘membaca’ permasalahan orangtuanya, dan mereka mendukung keputusan ibunya untuk menempuh jalan berpisah. Bahkan 2 tahun belakangan, semenjak ayah mereka pensiun, mereka semakin tak betah di rumah, karena sang ayah sering marah2 tanpa sebab, pernah beberapa kali ‘main tangan’ untuk menyelesaikan masalah. Rumah besar yang megah itu terkadang serasa ‘neraka’ buat penghuninya **sighs**.


Cerita saya ini bukan rekayasa, ini kisah nyata, dan tanpa bermaksud menakut-nakuti yang belum menikah, saya justru ingin melihat permasalahan ini dari sisi lain, yaitu bahwa wanita memang bukan mahluk yang lemah, terbukti sekali dari sosok Nuning ini, saya rasa lebih berat hidup serumah bersama suami yang tidak bertanggungjawab ketimbang harus jadi single parent karena divorce atau ditinggal mati suami,misalnya. Kalau masih berstatus sah sebagai suami-istri, sang istri tetap harus menjalankan kewajiban ke suaminya,khan – sementara, kalau suami tidak menjalankan kewajibannya maksimal, istri susah protes, karena siapa yang bisa mengukur itu sudah maksimal atau belum, suami tidak mau disalahkan.


Tapi hidup juga sebuah pilihan, dan tidak ada yang salah-benar terhadap pilihan itu. Nuning pada awalnya memilih untuk fight dengan segala kesulitan, namun kini dia memilih untuk ‘berhenti’ dan saya rasa tidak ada alasan saya untuk tidak mendukungnya.


Whatever your choice, you are still The Real Superwoman in this life…


No comments: