Wednesday, July 1, 2009

SI "NURANI"

Hatinya gelisah sekali. Kekhawatiran berkecamuk di kepalanya. Diliriknya jam di handphonenya, pukul 04.16 ,azan subuh belum terdengar, masih suara orang berdzikir. Dibukanya inbox, mengharap tersembul tulisan 1,2,atau mungkin 3 dalam lingkaran, mungkin saja tengah malam tadi khamu sudah membalas pesan-pesanku. Tapi ternyata, kosong, bersih, bahkan tak satu 'notification' pun,..ach ! Matanya tak bisa terpejam lagi, kini. Biasanya, kantuk itu masih saja menyerang walau azan subuh sudah terdengar **lima menit lagi, tak apa lah** Tapi sekarang, dia memilih untuk memulai percakapan dengan 'suara' itu.

"Ada apa dengan khamu?" tanyaku dengan setengah putus asa.
"Aku rasa dia disana baik-baik saja !" kata suara itu, teman berdebatku, teman sejatiku dikala aku gundah, dikala tak kutemukan satupun yang bisa kupercayai di dunia ini.
"Tapi ada yang aneh, tak biasanya dia tak membalas pesanku, bahkan lima hari lalu, dia begitu sumringah membaca pesanku kembali, setelah sekian waktu kubiarkan jariku beku diujung tuts papan ketik. Pasti telah terjadi sesuatu dengannya, kuharap dia tak lagi mendapat kesulitan karena aku, seperti waktu itu, di pagi itu..." aku memberondong dengan segenap kecemasanku.
"Berhentilah mengkhawatirkan segala sesuatunya secara berlebihan" suara itu berkata lebih berat.
"Bagaimana aku bisa meyakinkan diriku akan pendapatmu?" aku bertanya setengah tak yakin.
"Tentu saja kau harus mempercayai aku, karena aku satu-satunya yang tak akan pernah membohongimu".
"Darimana kutahu kau tidak menipuku?".
"Karena aku tak ingin menampakkan diri seperti yang lainnya, aku hanya menempati satu sudut kecil dalam ruangmu, tapi getaranku mampu menyadarkan seluruh isi 'rumah'mu, sehingga kau akan melangkah ke arah yang benar. Bukankah itu yang selama ini kau rasakan, ketika kau berada di persimpangan dan tak tau harus mengarah kemana, kau kerap berdiskusi denganku, dan akhirnya, langkahmu menuntun kepada kedamaian, tak kau sadari itu ?".
"Ya..." ucapku lirih.
"Tapi aku bukan sedang berbicara dengan egoku, khan ?" tanyaku berharap.
"Kau boleh tak mempercayainya, tapi kau harus percaya aku, tentu saja aku bukan egomu. Bukan juga nalurimu, ego sering memerintahmu bereaksi serupa hewan, sedangkan naluri tidak selamanya membisikkan kebenaran. Karena aku, adalah qolbu yang menempati ruang nuranimu".
"Ach...begitu ! Jadi, menurutmu, tak ada yang perlu kukhawatirkan tentangnya ?".
"Tentu saja !".
"Mengapa kau begitu yakin?".
"Mengapa kau begitu tak yakin?".
"Karena..." aku bingung.
"Kau tak mampu meneruskannya, karena aku pasti lebih tau dari nalurimu, dan kau sebenarnya meragukan dia, kau juga selalu saja menuruti perintah sang ego, atau bahkan beradu argumen dengannya, percuma saja, kau tau itu. Tapi kau tak mau menghentikannya untuk berhenti memerintahmu layaknya binatang reptil, yang selalu mengandalkan insting, naluri, ego untuk bereaksi. Kau bukan mahluk melata yang rendah, kau selalu mengisi pikiran-pikiranmu dengan makanan-makanan yang bergizi, tidak beracun, sehingga pikiranmu yang sehat akan selalu menuntun langkah dan tindakanmu. Sekarang, lakukanlah shalat shubuh, makanan pertama di fajar ini yang harus kau nikmati, azannya sudah selesai sedari tadi. Biarkan pikiranmu menikmati huruf demi huruf hijaiyah sembari menghantarmu menyongsong mentari pagi ini..! " perintahnya tegas.
"Sudah." jawabku pendek.
"Kapan ? Kau pasti tidak khusyu' karena aku sedang berbicara padamu"
"Tentu saja aku khusyu'...aku tidak membayangkan kau bicara, tapi yang aku bayangkan, betapa beruntungnya aku pagi ini, bisa shalat shubuh tepat waktu, dengan napas yang tak lagi berat seperti lima hari lalu ketika saluran bronkus di dadaku menyempit, dan lendir menggenanginya, sungguh suatu siksaan yang melemahkan nadiku, membuatku nyaris selalu putus asa, takut menghadapi hari tuaku nanti, takut menjadi beban anak-anakku. Tapi ketika shalat tadi - sewaktu kau sibuk menguliahiku - ketika al-fatehah kubaca, kumaknai baris demi baris ayatnya, agar aku bersyukur atas apa yang kurasakan detik itu, momen itu, tak ingin kubayangkan kemarin atau hari esok, juga tak mau aku dengarkan kamu, untuk sementara waktu." aku membela diri.
"Hemm, bagus ! Telah kau praktekkan rupanya teori Eckhart Tolle dalam bukunya The New Earth-The Power of Now" katamu sok tahu.
"Untuk apa kubaca, lalu kuyakini pendapatnya, tapi tidak kupraktekkan, sama saja aku percaya Tuhan itu ada, tapi aku tak mau menuruti perintahNYA..."sahutku tak kalah sok tahunya.

"Kalau begitu, semua rasa was-wasmu akan keadaannya disana, kini sudah reda ?".
"Mereda, iya. Tapi menghilang, belum."kataku yakin.
"Pergilah istirahat kembali, sedari malam, ragamu tidur, tapi pikiranmu tidak kau istirahatkan".
"Bagaimana bisa?" tanyaku bingung.
"Buktinya, subuh tadi, hal yang pertama kau lakukan adalah mengeceknya" pukulannya tepat mengenaiku ! Urghhh...pingin kujitak rasanya, dia ! Selalu benar ! Huh !
"Aku khan sekaligus melihat jam berapa saat itu, di kamarku tak ada jam dinding.." sanggahku.
"Tapi kau langsung tak bergairah, ketika tak ada suatupun kau temukan disana,khan ??" tanyamu menyelidik.
"Aku hanya khawatir akan keadaannya, itu saja. Sama seperti aku mengkhawatirkan sahabat-sahabatku lainnya".

"Dia akan baik-baik saja, kau tahu itu !".
"Tapi dia tak membalas pesanku...dan itu tidak biasanya, semarah apapun dia, tak pernah dia acuh padaku. Dan pagi kemarin, kami seperti biasanya saling menyapa.."aku tak bisa menyembunyikan rasa cemasku.
"Mungkin dia memang tak bisa membalas pesanmu, tapi itu bukan berarti dia dalam bahaya, dia akan baik-baik saja, dengan atau tanpa membalas sapaanmu, perhatianmu, itu kenyataan yang kalian berdua hadapi."
"Begitukah..?"tanyaku kembali tak yakin.
"Ya...,karena raganya akan dijaga oleh seseorang disampingnya, bukan kamu !" pukulannya kali ini benar-benar telak. Tak terbantahkan. Tepat mengenai ulu hatiku, nyeri !
"Kau benar..." ucapku lirih, perlahan airmata jatuh satu persatu, dan akhirnya menggenangi relung-relung hatiku, menyesakkan dadaku serupa lendir yang memenuhi bronkeolus, berat kurasakan.

"Aku rasa, aku akan beristirahat kembali sekarang..." aku memilih menarik selimutku kembali, ketimbang mengetikkan sebaris kalimat di telepon genggamku. Kulirik, 05.00 tepat, masih ada waktu barang satu atau satu setengah jam sebelum menghantarkan hubby berangkat. Kupilih untuk menikmati sisa liburan panjang ini, sebelum tiba waktunya anak-anak kembali masuk sekolah nanti, bukankah sesuatu yang mewah bisa merasakan hangatnya selimut ini, selepas subuh ? .

Aku mencoba memejamkan mata kembali, mengistirahatkan pikiranku, membiarkan suara itu diam, tanpa berniat sedikitpun mengusiknya, aku sudah lelah subuh ini dengannya, dia selalu benar, dan sering kebenarannya itu memojokkan aku. Dan ternyata, aku benar-benar memerlukan istirahat tambahan, lelah sekali kurasa ,hingga ketika bunyi tanda sebuah pesan singkat masuk, getarannya di meja samping tempat tidurku, ikut menggetarkan kepalaku untuk terjaga.

Setengah terpejam, kubaca baris baris kalimat disana, ternyata...Benar ! Sesuatu telah terjadi. Sama seperti ketika beberapa bulan lalu kudapati pesan singkat semacam ini. Tapi kali ini, reaksiku tidak seperti kala itu. Seperti yang dikhutbahkan si "Nurani" tadi, ego dan naluri kadang membimbing kita bereaksi serupa reptil, dan kini, aku tak mau lagi mempercayai ego dan naluriku. Aku memang sedang belajar untuk memperdalam keyakinanku pada qolbuku, dan sekarang, ketika pesan singkat itu kembali kudapati di telepon genggamku, aku mengucap sebaris kalimat untuk menenangkanku "Astaghfirullahalazhim". Kuucapkan dengan kesadaran penuh, sembari kuhirup dalam-dalam oksigen yang ada, agar dadaku penuh olehnya. Kemudian baru kupanggil lagi si "Nurani".

"Rupanya dia sedang berada dalam kesulitan dengan orang di sampingnya. Mengapa ini bisa terjadi lagi..??" tanyaku tak mengerti.
"Hemmm, tidak semua orang bisa berdialog layaknya kau berdialog denganku" jawabmu bijaksana.
"Mengapa begitu - bukankah dia disana juga bisa melakukan seperti yang aku lakukan sekarang?" tanyaku bingung.
"Belum tentu ! Meski dia mungkin lebih baik dalam mengendalikan egonya, bukan berarti dia mempercayai nuraninya, sehingga dia cenderung membiarkan dirinya pasif dalam menyelesaikan segala persoalannya".
"Mengapa dia memilih pasif?" tanyaku tak mengerti.
"Itu juga sebuah pilihan. Memilih untuk tidak menentukan, itu sebuah pilihan sikap. Dan itu yang dilakukannya sekarang" .
"Tapi aku selalu memudahkannya untuk bertindak tidak memilih, tapi mengapa dia masih saja mendapatkan kesulitan dari perempuan itu ?"protesku.
"Itu bukan urusanmu, camkan itu !" perintahmu tegas, nyaris merinding ketakutan aku dibuatnya.
"Apa yang kau lakukan sekarang sudah benar, sudah berada di jalurNYA, teruslah berjuang dalam koridor itu, jangan lagi kau tuntun pikiranmu untuk terpengaruh apapun, siapapun ! Kau sudah berjanji pada dirimu sendiri untuk membiarkannya sebagai sahabatmu, anggaplah dia sama seperti sahabatmu lainnya yang mempunyai kehidupannya sendiri, masalahnya sendiri yang tak bisa kau sentuh. Berhenti mengkhawatirkannya lebih dari itu !" kali ini bukan perintah, tapi lebih pada mengingatkan aku pada janjiku sendiri. Ya, kuakui kau benar (lagi).

"Ya, kau benar, itu bukan urusanku, meski aku yang perempuan itu pertanyakan, tapi itu bukan salahku. Aku tak membohongi siapa-siapa, setidaknya beberapa waktu belakangan ini. Aku sudah berusaha melakukan hal yang jujur, tanpa ada kata 'tapi' **kejujuran tak bersyarat**" kataku meyakinkan aku dan si "Nurani".
"Good !" baru kali ini kau mengangguk setuju.
"Lantas, apa yang akan kau lakukan dengan pesan singkat yang aneh itu?" tanya si "Nurani" ingin tahu.
Aku tersenyum.
"Kau tak perlu khawatir, aku tak akan mengikuti egoku untuk memimpin tindakanku. Aku rasa aku tak perlu membalas pesan singkat itu, karena aku memang tak perlu, dan tak pantas untuk itu !" jawabku mantap.
"Mengapa kau merasa kau bukan seperti yang dia tuduhkan?" tanya nurani menguji argumenku.
"Tentu saja, karena dia bertanya dalam koridor aku layaknya seorang pencuri, dan dia bertanya, mengapa aku mencuri. Padahal, aku samasekali tidak mencuri, tapi aku menerima sesuatu yang sebenarnya dia terima jauh lebih banyak daripada aku, namun dia tidak menyadarinya, dan lebih parah lagi, dia tidak mensyukurinya sebagaimana apa adanya, dia selalu berprasangka buruk ,kalau-kalau ada orang yang akan mengambilnya, dan akhirnya...terjadilah! Jadi,sebenarnya, pada kenyataannya, dia tidak sedang kehilangan sesuatu, tapi pikirannya yang selalu dia cekoki dengan 'makanan beracun' (mungkin berupa bacaan-bacaan demotivasi atau novel-novel picisan tak bermutu atau acara gosip televisi) sehingga pikirannya selalu menuntun tindakannya untuk selalu curiga, sehingga dia menutupi rasa syukur yang sering dia lafazkan dalam doa dan sholatnya..." kataku tanpa koma. Sejenak ku menarik napas, kemudian melanjutkan argumenku,

"Jadi, sebenarnya aku tidak mencuri (hati) dan dia sedang tidak kehilangan (cinta), dia sedang mempertanyakan keberadaan dirinya, yang mulai rapuh, dan secara kebetulan, aku bisa dijadikan 'sasaran tembaknya'. Dan aku tentu saja bisa dengan sangat mudah menghindarinya." kataku dengan yakin.
"Hemmm,begitu. Kau kedengarannya mengasihani perempuan itu.." katamu setengah menuduh.
"Apa untungnya buat aku...? Yang terbaik kulakukan adalah mengambil hikmah dari semua ini. Aku tidak mengasihaninya, tapi mencoba mengerti, mengapa itu bisa terjadi, dan berusaha sekuat tenaga agar kejadian seperti itu tak menimpaku di kemudian hari. Itu lebih baik, ketimbang mengasihani orang lain, padahal mungkin kita tidak lebih baik darinya. Aku akan berdoa, semoga aku tetap bisa teguh dengan janjiku, dan perempuan itu akan bisa menemukan qolbunya untuk menuntunnya bertindak bukan ego yang memimpinnya seperti sekarang ini. Seperti halnya aku, yang selalu ditemani olehmu..." kataku sembari tersenyum ke arah "Nurani'.
"Syukurlah..." katamu lega.

Kulirik jam, 06.37, sepuluh menit berlalu ketika pesan singkat yang aneh tadi kuterima. Dan aku bersyukur, tak kurasakan amarah seperti dulu. Biarlah, beberapa waktu akan kubiarkan kau disana dan dirinya melakukan rekonsiliasi, memasang-masangkan nilai-nilai yang kalian masukkan ke hati kalian dengan tindakan kalian satu sama lain, kudoakan semoga tak terlalu banyak yang perlu khamu benahi, karena aku tahu khamu baik, dan khamu tidak lagi salah seperti dulu.

Hatinya benar-benar sudah tenang sekarang. Dia beranjak bangun dari tempat tidurnya, menghampiri celoteh peri-peri kecilnya yang sudah ramai sedari tadi, memberikan senyuman dan pelukan hangat kepada suaminya,
"Sudah mau berangkat ?"
"Sebentar lagi, selepas kau mandi, ini khan libur anak-anak sekolah, jalanan sepi"
"Oke,aku mandi dulu".

No comments: